Keislaman Indonesia

Jelas-jelas terpampang pada lambang negara ini bahwa kaki dari Garuda Pancasila mencengkeram sebuah tulisan yang dengan tegas berbunyi: “BHINNEKA TUNGGAL IKA”—”Berbeda-beda tetapi tetap satu”, namun entah apa arti semboyan tersebut sebenarnya. Bangsa ini terlalu islami, terutama untuk hal yang protokoler.

Tentu, setiap rakyat Indonesia—umumnya—telah terbiasa dengan panggilan “Assalamu ‘alaikum” sebagai salam. Bahkan mereka yang non-Islam pun telah dapat melafalkan salam tersebut versi lengkapnya dengan fasih. “Assalamu ‘alaikum warrahmatullahi wabarakatuh,” ucap mereka lancar.

Seringkali acara-acara umum dibuka dengan mengucapkan “bismillahirrahmanirrahim”, tidak peduli dengan ketua acaranya yang beragama lain. Kalimat-kalimat lainnya yang sangat “Islam” sekali pun telah menjadi biasa untuk dilafalkan oleh mereka yang non-Islam. Seperti “alhamdulillah”, “astaghfirullah”, dan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un”.

Hampir setiap daftar susunan acara yang dibuat di negara ini pun menggunakan istilah ISHOMA—istirahat, sholat, makan. Jika, kita semua mematuhi susunan acara tersebut, seharusnya yang sholat bukan hanya bagi mereka yang Islam saja, namun bagi semua. Jika susunan acara tersebut memang harus dipatuhi.

Indonesia Bukan Negara Islam

Kadang ini terasa mendiskriminasi.

Memang, negara ini dihuni oleh lebih dari 80% populasi umat Muslim—negara dengan populasi umat Muslim terbanyak di dunia, namun Indonesia tetaplah bukan negara Islam. Apalagi dengan Pancasila dan “Bhinneka Tunggal Ika” sebagai dasar, rasanya sulit membayangkan Indonesia sebagai negara Islam.

Bahkan Islam juga bukan merupakan agama pertama yang masuk ke Indonesia.

Hingga abad ke-14, Indonesia berada di bawah pengaruh kuat agama Hindu dan Buddha. Ditandai dengan berdirinya berbagai kerajaan besar di Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7, namun kerajaan Islam baru terbentuk pada abad ke-12. Kebanyakan, Islam dibawa ke negara ini lewat pedagang. Nusantara yang subur akan rempah-rempah ini menjadi lokasi yang strategis bagi para pedagang Muslim dari Timur Tengah untuk mendapatkan lada, pala, dan cengkih sebanyak-banyaknya. Lewat pedagang-pedagang inilah Islam tersebar—banyak petani rempah-rempah yang berpindah agama hanya untuk mendapatkan mitra dagang. Para pedagang Timur Tengah memang lebih memilih untuk bermitra dengan mereka yang seiman.

Kini, beberapa daerah di Indonesia telah menerapkan syariah (hukum Islam) sebagai dasar hukum mereka. Salah satunya adalah Aceh (dulu Nanggroe Aceh Darussalam). Di sana, ada patroli wanita yang berkeliling kota untuk menginspeksi lelaki mana yang tidak salat Jumat. Belum lagi hukuman cambuk bagi mereka yang berjudi atau berzina.

Walaupun demikian, tetaplah, Indonesia bukan negara Islam.

Fluktuasi Islam di Indonesia

Dulu, Soekarno menolak gagasan menjadikan Indonesia sebagai negara Islam dengan pertimbangan kawan sebangsa setanah air di kawasan bagian timur. Soekarno yang lahir dari ibu yang Hindu-Bali tentu melihat bahwa Indonesia bukan hanya diisi oleh kaum Muslim saja, bahwa Indonesia bukan hanya untuk kaum Muslim saja.

Namun selama rezim Soeharto yang terkenal otoriter, kebebasan berpendapat rakyat Indonesia seakan dibungkam, termasuk para pejuang Islam yang ikut terbungkam. Pada saat itu, melawan berarti penjara. Abu Bakar Baasyir pun pernah ditahan karena menentang sang presiden.

Barulah suara para petinggi Islam di Indonesia kembali terdengar, seiring dengan semakin terdengarnya pula suara-suara dari bagian rakyat yang lain. Demokrasi yang selama ini dikedepankan untuk negara kita menjadi terasa kembali setelah dianggap mati selama sekian lama.

Inilah mungkin yang mengawali banyaknya provinsi di Indonesia yang akhirnya menggunakan hukum syariah.

Gerakan para politikus pun jadi banyak yang “menjual” sisi keislamannya. Islam jadi seakan diperjualbelikan sambil diberi penawaran harga yang bisa berubah-ubah. Islam mulai bangkit, tapi bangkit dalam hal apa?

Ekstremis dan Moderat

Pandangan dunia terhadap Islam sedikit tercoreng ketika peristiwa 11 September terjadi, padahal Islam seharusnya adalah agama yang cinta damai dan peristiwa 11 September sama sekali tidak dapat dibenarkan dari sisi pandang Islam.

Namun Islam terlanjur dicap sebagai teroris bagi sebagian orang dan Indonesia adalah sarangnya. Munculnya beberapa kasus bom beberapa tahun belakangan ini disinyalir merupakan gerakan dari kelompok Islam tertentu.

Muncul pula organisasi massa yang mengaku berlandaskan Islam, namun hampir selalu menggunakan jalan kekerasan untuk menyelesaikan masalah. Mereka meneriakkan, “ALLAHU AKBAR!”—”Allah Maha Besar,” sambil menghancurkan gedung diskotek.

Namun tak selalu penduduk Muslim Indonesia adalah merupakan pribadi yang fanatik terhadap Islam. Banyak pula orang yang dikategorikan “Islam KTP”—sebutan guyonan untuk menyebut mereka yang Islam namun tidak menjalankan kewajibannya sebagai umat Muslim.

Sejak dulu pun, biasanya, Islam di Indonesia bukan merupakan Islam yang begitu fanatik. Tren yang mulai terlihat belakangan ini mungkin sedikit-banyak dipicu oleh aksi serupa di negara lain atau, benar adanya, Indonesia merupakan sarang teroris.

Yang jelas, sekarang ini, Islam di Indonesia semakin beragam: ekstremis dan moderat.

Menjadi Islam yang menerima dan diterima

Kita jelas hidup berdampingan di Indonesia. Walaupun merupakan mayoritas, Islam di Indonesia tetap tidak dapat menuntut lebih banyak hak dibanding pemeluk agama lainnya.

Untuk bisa hidup berdampingan dengan normal, aman, dan tenteram, dibutuhkan kemampuan untuk saling menerima dan diterima. Buat apa ada Islam jika ia tidak dapat menerima agama lain yang masih satu Indonesia. Buat apa pula jika akhirnya Islam tidak diterima di Indonesia.

Mungkin protokoler-protokoler yang sangat berbau islami masih dapat diterima rakyat Indonesia—baik yang Islam maupun tidak—dan bisa jadi hal ini justru membuat rasa saling keberterimaan di antara setiap elemen Indonesia.

Kaum ekstremis pun perlu diluruskan persepsinya. Menjadi fanatik tidak harus selalu dengan membom, menjadi fanatik tidak harus selalu dengan menghancurkan rumah judi. Negara ini adalah negara cinta damai, seperti halnya Islam. Kaum moderat di sini dapat berguna sebagai penengah.

Dari soal jumlah, Islam jelas menang di Indonesia. Namun keberlangsungan agama ini di negara ini pun bergantung pada kebergantungan rakyatnya. Islam harus diterima di segala elemen untuk dapat menunjukkan seperti apa Islam yang sebenarnya. Yang jelas, perlu ada keterbukaan dari dua belah pihak.

Menerima dan diterima.

2 thoughts on “Keislaman Indonesia

  1. Barangkali penelitian ini benar adanya, karena didukung oleh data dan fakta.
    Yang menjadi prihatin saya adalah…. ternyata dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia sekarang ini, ciri sebagai bangsa Indonesia yang santun dan ramah,
    yang jujur dan bertanggungjawab, yang berbudaya, yang agamis, yang selalu bersahabat, berbudi pekerti luhur, suka tolong menolong, bertoleransi tinggi, taat hukum,
    suka menghormati orang lain, suka menerima pendapat orang lain, dsb- dsb-nya….dan ber-slogan yang serba baik, ternyata….SEMUANYA ITU TELAH BERLALU, DAN HANYA MENJADI KENANGAN… (kalau tidak dibangun kembali). Nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa ini telah terkoyak, telah terkontaminasi dan telah erosi. Yang ada sekarang ini adalah unsur-unsur kepentingan pribadi yang bersifat individual, atau kepentingan kelompok, sehingga orang tidak lagi menghiraukan kepentingan umum dan banyak orang. Orang-orang Islam (baca OKNUM-NYA) memang jumlahnya cukup banyak (mayoritas), tetapi diantara mereka MASIH BANYAK YANG BELUM ISLAMI (tidak termasuk saya) MEREKA HARUS BELAJAR LAGI MENDALAMI AL QUR’AN DAN HADIST. AGAR KITA MENJADI ORANG-ORANG ISLAM YANG ISLAMI. Semogalah kita tidak menjadi bangsa bar-bar….

  2. Barangkali penelitian ini benar adanya, karena didukung oleh data dan fakta.
    Yang menjadi prihatin saya adalah…. ternyata dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia sekarang ini, ciri sebagai bangsa Indonesia yang santun dan ramah,
    yang jujur dan bertanggungjawab, yang berbudaya, yang agamis, yang selalu bersahabat, berbudi pekerti luhur, suka tolong menolong, bertoleransi tinggi, taat hukum,
    suka menghormati orang lain, suka menerima pendapat orang lain, dsb- dsb-nya….dan ber-slogan yang serba baik, ternyata….SEMUANYA ITU TELAH BERLALU, DAN HANYA MENJADI KENANGAN… Nilai-nilai luhur yang dimiliki bangsa ini telah terkoyak, telah terkontaminasi dan telah erosi. Yang ada sekarang ini adalah unsur-unsur kepentingan pribadi yang bersifat individual, atau kepentingan kelompok, sehingga orang tidak lagi menghiraukan kepentingan umum dan banyak orang. Orang-orang Islam (baca OKNUM-NYA) memang jumlahnya cukup banyak (mayoritas), tetapi diantara mereka MASIH BANYAK YANG BELUM ISLAMI (tidak termasuk saya). MEREKA HARUS BELAJAR LAGI MENDALAMI AL QUR’AN DAN HADIST. AGAR KITA MENJADI ORANG-ORANG ISLAM YANG ISLAMI. Semogalah kita tidak menjadi bangsa bar-bar….

Leave a comment