Sahara dan Indonesia

Kehidupan mana yang tak butuh air? Jika mungkin seekor onta tidak memerlukan pispot seperti halnya sekumpulan panda yang sama sekali tidak butuh sebuah pengraut pensil, tidak mungkin ada makhluk hidup yang tak butuh air. Setiap makhluk hidup pasti butuh air.

Untungnya Bumi punya banyak stok air. Hujan yang turun, sungai yang mengalir, serta danau yang tergenang menyediakan inti terpenting dalam kelangsungan kehidupan. Sayangnya, tidak setiap sudut di Bumi memiliki air yang berlimpah.

Sahara bukan untuk manusia

Bayangkan sebuah hamparan pasir yang begitu luas. Sesekali ada batu-batu besar yang tinggi menjulang, selebihnya tidak ada apa-apa di sana. Hanya hamparan pasir yang membentang, entah di mana batasnya.

Angin kering bertiup tidak membuat sejuk, sapuannya malah membuat kulit perih dilewati butiran pasir yang kecil namun tajam. Belum lagi dengan teriknya matahari dan tiadanya payung di sana, apalagi pohon rindang. Mungkin inilah yang dinamakan neraka dunia: Sahara.

Gurun pasir sama sekali tidak terlihat layak untuk ditinggali manusia. Alamnya yang ganas seakan merupakan bentuk pengusiran bagi setiap anak Adam yang hendak berkunjung ke sana. Sahara tidak menerima manusia.

Inti yang terpenting adalah air. Tanpa air, manusia tak akan mungkin bertahan hidup.

Benarkah tidak ada manusia di Sahara?

Di Libya barat daya, ada sebuah kawasan bernama Fezzan yang konon pernah dihuni oleh sekitar 100.000 manusia pada rentang masa antara 500 SM sampai 500 M. Jumlah ini adalah jumlah yang sangat banyak, apalagi untuk sebuah kawasan minim air seperti itu. Lalu, bagaimana manusia-manusia itu mampu bertahan hidup?

Jawabannya didapat dengan menggunakan pencitraan radar yang diambil dari luar angkasa. Sulit dibayangkan, Fezzan yang kini hanyalah hamparan pasir tandus dengan angin kering di mana-mana, dulunya merupakan sebuah danau raksasa yang seluas Inggris. Danau ini lantas dinamakan Danau Megafezzan.

Butiran permata di tengah gurun (foto © Dr. Simon Armitage, University of Oxford)

Setelah dilakukan observasi langsung, ternyata memang lokasi yang dulunya merupakan Danau Megafezzan dipenuhi dengan banyak batuan permata—beberapa berwarna ungu, sebagian lagi berwarna jingga akibat pengaruh mineral dan ganggang.

Danau inilah yang menjadi sumber air bagi sekelompok umat manusia yang pernah bersemayam di sana dulu.

Siklus kosong-isi Danau Megafezzan

Danau Megafezzan pernah menggenangi sebagian wilayah Sahara kurang lebih 200.000 tahun silam. Ketika itu curah hujan di sana masih tinggi.

Fezzan ketika masih basah (gambar oleh Nick Drake)

Air selalu menarik perhatian manusia. Akhirnya, 130.000 tahun silam mulai bermukimlah manusia pertama penghuni Fezzan. Namun alam tidak sepenuhnya ramah terhadap penghuni Fezzan. 70.000 tahun silam, manusia dipaksa mengungsi lagi akibat curah hujan mulai menurun lagi. Sejak masa itu, tingkat curah hujan di sekitar Danau Megafezzan menjadi tidak menentu. Hal itu jugalah yang menyebabkan manusia perlu untuk bolak-balik bermigrasi seiring perubahan iklim di sana.

Namun manusia tidak mau sepenuhnya bergantung pada alam. Mereka akhirnya meninggalkan pola berburu yang selama ini mereka jalani. Mereka mulai beternak, kemudian bertani. Sampai terbentuklah sebuah peradaban manusia di sana yang bernama Garamantian.

Masyarakat Garamantian hidup pada masa sejak kurang-lebih 5.000 tahun yang lalu. Mereka mengalami iklim yang serupa dengan kondisi Sahara saat ini. Namun mereka mampu menyiasati kekurangan air yang mereka alami dengan cerdik.

Mereka sudah sanggup membuat irigasi oase.

Dengan sistem irigasi yang mereka terapkan, mereka mampu mengaliri lahan-lahan mereka yang telah ditanami dengan berbagai budi daya tanam seperti kurma atau gandum. Mereka mengambil air dari air tanah dengan kanal bawah tanah yang dinamakan foggara/fughara. Sebuah tantangan besar untuk memastikan air yang diambil tidak berkurang akibat penguapan mengingat teriknya matahari tidak kenal ampun.

Memang—pada akhirnya—masyarakat Garamantian mati juga. Air tanah hasil tampungan hujan selama berribu-ribu tahun di sana akhirnya habis dipakai untuk keperluan irigasi. Pada masa itu, peradaban purba itu akhirnya runtuh. Namun—setidaknya—mereka telah mencoba melawan kerasnya alam sebelum akhirnya menyerah dan mati.

Garamantian tidak begitu saja menyerah pada keadaan.

Sudut lain dunia tempat air melimpah di sana

Lain lagi dengan Indonesia.

Indonesia beruntung punya alam yang tak seganas Sahara. Bahkan, alam di Indonesia terlalu ramah pada manusia-manusia penghuninya. Pohon-pohon tumbuh di mana-mana, tanahnya subur, dan hujan tak pernah absen terlalu lama dalam setahun.

Sawah hijau yang banyak ditemui di Indonesia (foto oleh Samuel Matthews, © 2005 National Geographic Society)

Makanya orang Indonesia makan nasi. Nasi adalah makanan pokok yang paling banyak membutuhkan air untuk penyajiannya hingga masak dan siap santap. Makanan paling cocok untuk negara yang diguyur hujan terus sepanjang tahunnya (kecuali beberapa daerah bagian timur).

Namun, apakah ini yang membuat kita menjadi bangsa yang pemalas? Tidak seperti masyarakat Garamantian yang perlu untuk berjuang dulu untuk bisa bertahan hidup kemudian.

Hanya karena telah mendapatkan pelayanan yang begitu enak dari Tuhan, tidak berarti kita tak butuh untuk berkembang, bukan? Indonesia yang terdiri dari hamparan tanah lempung atau pasir yang masing-masing ada gunanya tentu tak mau berhenti sebatas ini saja.

Seharusnya jika dengan kondisi alam serba terbatas, masyarakat Garamantian mampu bertahan hidup; Indonesia dengan kondisi alam serba berlebih harusnya mampu untuk swasembada pangan. Akan tetapi, kapan kita terakhir kali swasembada pangan?

Modal kita sudah banyak, kenapa kita masih tidak mau untuk maju? Karena jika kita tidak mau mengantisipasi kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi, bukan tidak mungkin kita bakal binasa seperti peradaban Garamantian.

Leave a comment