Ramadan: bulan itu datang bersama kurma dan lagu islami yang makin marak di pusat perbelanjaan. Kurma dan lagu islami membawa maksud yang berbeda: kurma bertindak sebagai simbol buah kesukaan Nabi, yang tentunya akan sangat laris jika dijual di bulan ketika sangat dianjurkan untuk menjalankan sunahnya, sedangkan lagu islami menambah nuansa rohani menjadi lebih kental, membuat tiap orang tak akan lupa bahwa saat itu adalah Ramadan. Bulan suci kadang harus dikondisikan.
Di bulan suci ini, setiap Muslim diperintah untuk menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Menghindari kerongkongan dari makan dan minum selama kurang lebih dua belas jam, menjaga pandangan dari segala yang dapat menerbitkan nafsu, serta menahan diri untuk tidak bersenggama selama matahari masih terlihat mata; semua itu harus dilakukan demi afdalnya ibadah yang merupakan rukun Islam nomor tiga—dari lima rukun Islam yang ada.
Di Indonesia, negara dengan Muslim terbanyak di dunia, Ramadan dilalui dengan penuh ritual. Di negara ini, setiap Muslim yang berpuasa musti dihargai. Tempat hiburan malam, yang biasanya dipenuhi cewek-cewek pengumbar aurat dan minuman-minuman yang bikin mabuk, harus ditutup; atau akan ada yang sebagian masyarakat yang datang menutupnya dengan dalih “menertibkan”. Tidak hanya itu, setiap tempat makan yang buka di siang hari “harus” memasang tirai atau papan—agar yang sedang makan di dalam jadi tak terlihat oleh yang sedang berpuasa di luar—sehingga menjaga nafsu menjadi perkara yang lebih mudah. Di negara ini, tempat Islam menjadi agama milik mayoritas, minoritas harus “menghargai” kehadiran bulan suci ini. Toleransi menjadi harga mati.
Muslim di Indonesia mendapat begitu banyak kemudahan dalam menjalankan Ramadan. Ketika siang hari, kebanyakan penjual makanan—yang kebanyakan juga ikut berpuasa—memilih untuk tutup daripada dagangannya tidak laku atau imannya tergiur oleh barang jualannya sendiri. Mereka lebih memilih buka pada malam hari, dimulai dari waktu menjelang Magrib, ketika banyak orang yang berpuasa akan bersorak girang mendapati puasanya telah tamat untuk hari tersebut. Orang-orang yang hendak berbuka puasa tersebut dilayani dengan begitu banyak pilihan hidangan—mulai dari kolak biji salak hingga es campur. Perut yang kosong tak diisi apapun sejak Subuh langsung diserbu oleh berbagai kuliner yang mungkin malah jarang dicicip di bulan selain Ramadan. Mungkin mereka menganggap ini sebagai “bayaran” atas puasanya selama siang hari.
Dilihat dari esensi, “menjaga nafsu” yang seharusnya menjadi predikat utama di bulan Ramadan tidak sepenuhnya dijalani oleh semua orang. Mereka hanya “menyimpan nafsu” selama siang hari, dan langsung mengumbarnya sebagai balasan ketika bedug pertanda Magrib mulai dipukul. “Menjaga nafsu” yang dimaksud hanya dilakukan selama setengah hari saja, yaitu sejak Subuh hingga Magrib. Di malam hari, nafsu seakan boleh untuk kembali diumbar. Ramadan ketika “nafsu terjaga” hanya berjalan setengah hari.
Di bulan Ramadan, seakan ada yang berbeda dari wajah Indonesia. Di bulan ini, wajah Indonesia seakan memakai topeng yang akan kembali dilepas ketika Ramadan telah usai. Kembali pada realita, bahwa diri bukan orang yang begitu alim.
Ada yang bilang bahwa Ramadan adalah media pelatihan diri bagi setiap Muslim untuk memperbaiki diri di tiap tahunnya. Ramadan adalah ajang untuk mempersiapkan diri untuk menghadapi sebelas bulan ke depan. Di Ramadan, nafsu coba dijaga sambil berharap sebelas bulan seterusnya akan tetap demikian.
Namun Ramadan adalah variabel yang berbeda. Di bulan ini, terlalu banyak peubah yang diubah sehingga ketika bulan lain tampak berbeda, mereka yang tak terbiasa akan menyerah.
Jalan mudah yang diterima orang-orang yang berpuasa selama Ramadan seakan mengingkari jati diri sebenarnya dari bangsa yang aslinya rusak ini. Kemudahan yang diterima selama sebulan harus dibayar dengan cobaan yang jauh lebih berat di sebelas bulan yang lain.
Jika memang Ramadan adalah tempat untuk pelatihan—atau persiapan—diri untuk menghadapi sebelas bulan ke depan, perlukah menjadikan bulan ini spesial dengan menggunakan topeng hanya pada waktu tersebut? Sementara di waktu yang lain, kita hanyalah wujud bejat yang melarat yang hanya bisa menjaga nafsu dengan mengemis toleransi dari seisi negara, menjadikan kita semua bersembunyi di balik topeng yang sangat tebal.